Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) itu menduduki posisi terbesar kedua dalam neraca ekspor Indonesia sebesar 11.58 %. Ekspor Indonesia ke AS itu dipengaruhi oleh tekstil (25 persen) dan manufacturing (12.45 persen). Adanya krisis financial Amerika Serikat dapat berakibat macetnya sector TPT dan manufacturing Indonesia dan mengakibatkan potensi PHK dan efisiensi lainnya di dua sector tersebut.
Efek dari krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat juga dapat berfek ke perekonomian Indonesia melalui efek domino. Krisis financial Amerika serikat dapat berpengaruh ke beberapa Negara yaitu Negara Jepang dan Uni Eropa yang mempunyai dampak potensial berpengaruh terhadap penurunan ekspor Indonesia juga.
Ekspor Indonesia terbesar adalah ke regional Uni Eropa sebesar 13.92%, Negara Jepang sebesar 12,5%, Singapura 9,77% dan China sebesar 7,58% Terhitung ekspor Indonesia juga sebagian berbentuk barang mentah tanpa mengalami peningkatan kualitas produk sama sekali dalam bentuk komoditas mentah, maka penurunan harga komoditas dapat mengakibatkan penurunan kinerja ekspor Indonesia juga.
Strategi diversifikasi ekspor dapat bekerja jika sejalan dengan meningkatkan kompetensi sector industri yang sekarang juga. Difersifikasi yang paling menjanjikan adalah ke Timur Tengah dan Negara Asia timur jauh lainnya. Dan dengan kompetisi yang ketat dengan eksportir-eksportir dari China dan India, maka sangat perlu bantuan peningkatan kualitas kompetensi perusahaan eksportir Indonesia.
Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan menaikkan standar produk dan kemudahan-kemudahan dalam melakukan ekspor dan kemudahan perusahaan dalam mendapat pinjaman lunak jangka pendek serta insentif pajak lainnya.
Hal sebaliknya dari apa yang Anda katakan karena SBI naik karena bank-bank berlomba-lomba menaikkan simpanan-simpanan depositonya. Itu jelas salah, karena dengan tidak dijaminnya penjaminan simpanan penuh nasabah (full blanket guarantee) makanya bank-bank berlomba-lomba menaikkan bunga deposito yang jumlahnya di atas Rp. 2 milyar. Untuk mempertahankan simpanan nasabah yang jumlahnya diatas Rp. 2 milyar tersebut maka bank harus menaikkan bunga deposito mereka yang mengakibatkan cost daripada bank sendiri semakin tinggi untuk membayar bunga. Dana Pihak Ketiga (DPK) dari masyarakat yang adalah dana murah bank dari nasabahnya (pengaman dalam likuiditas perbankan). Dengan tidak dijaminnya simpanan nasabah secara penuh, maka simpanan yang jumlahnya diatas Rp. 2 milyar tersebut bukan menjadi dana murah tetapi dana mahal bagi bank. Dan juga BI rate yang naik akan mempengaruhi secara mutlak naiknya bunga simpanan deposito masyarakat padahal simpanan deposito dapat dibilang DPK mahal bagi perbankan. Dan juga kenaikan BI rate berpengaruh walau sedikit terhadap penurunan investasi dalam PDB Indonesia.
Ditambah dengan potensi larinya dana Rp. 2 milyar dari bank itu sendiri, mengakibatkan tidak adanya penjaminan penuh simpanan nasabah menjadi boomerang tersendiri bagi perbankan. Kalau dipertahankan jadi dana mahal, tapi kalau tidak dinaikkan bunganya malah jadi kering likuiditas perbankannya.
Ditambah lagi dengan Kepala LPS sendiri menyatakan kepada pers mereka siap kalau pemerintah menunjuk menjamin 100% (seluruh) simpanan nasabah di Indonesia, namun tidak bisa karena tersangkut undang-undang.
Sumber :
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia, BEMP Volume 11 No.1, Juli 2008. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 11. No. 1, Juli 2008
No comments:
Post a Comment